
Sebuah kisah yang berdasarkan pada
hadist Rasulullah saw dari cerita Malaikat Jibril “sungguh dahulu pernah ada
seorang hamba (‘abid) yang tinggal seorang diri di sebuah gunung paling tinggi
di dunia. Begitu tingginya gunung itu, sehingga aku (jibril) sering melaluinya
ketika hendak turun dari langit melaksanakan titah dari Yang Maha Kuasa. Gunungitu tidak begitu luas, tetapi cukup lengkap persediaan bahan makanan dan
buah-buahan juga air terjun yang menyegarkan. Hal itu mempermudah ‘abid menjaga
perut dari kekosongan dan memudahkannya berwudhu sehinga ia selalu dalam
keadaan suci.
Di atas gunung yang sangat indah
itu, ‘abid hidup selama lima ratus tahun. Ia tidak punya kegiatan, selain beribadah,
bermunajat, dan berdo’a, tidak pernah terlintas dibenaknya untuk berbuat dosa
dan mendurhkai-Nya. Salah satu do’a yang dikabulkan Allah swt adalah
permohonannya setiap saat untuk mati dalam keadaan sujud. Demikianlah, akhirnya
‘abid meninggal dunia dalam usia limaratus tahun.
Setelah kematiannya Allah swt
berkata kepadanya ‘wahai hambaku karena rahmat-Ku, kau akan segera aku masukkan
ke dalam surga’. Mendengar pernyataan tersebut si ‘abid berubah mukanya,
terkesan tidak terima. Karena ia merasa bahwa amal-ibadahnnya selama lima ratus
tahun tanpa dosa lah yang menyebabkannya layak masuk ke surga. Bukan semata
karena rahmat-Nya. Demikian protes ‘abid kepada Allah swt.
Mafhum apa yang dimaksud oleh si
’abid. Maka segeralah Allah menugaskan seorang malaikat untuk menghitung dan
menimbang seluruh amal-ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa yang
diandalkannya sebagai modal meraih sorga. Kemudian ditimbangnya amal tersebut
dibandingkan dengan rahmat pemberian-Nya. Ternyata rahmat Allah swt yang diberikan
kepada ‘abid yang terdapat dalam mata (termasuk di dalamnya kemampuan melihat)
saja jauh lebih berat nilainya dibandingkan dengan ibadahnya selama lima ratus
tahun. Belum nikmat anggota badan yang lain, otak, kaki, tangan, dan
seterusnya.
Maka sesuai dengan protes yang
diajukannya, Allahpun memerintahkan malaikat untuk menyeret si ‘abid ke dalam
neraka. Karena nilai amal-ibadahnya jauh lebih ringan dari pada rahmat yang
terdapat pada mata. Ketika itulah si ‘abid baru sadar ternyata
kebergantungannya pada amal tidak dapat menyelamatkannya. Segera ia meminta
ampunan dan mengakui akan segala kesalahan dan kesombongannya. Ia terlalu
mengandalkan amal ibadahanya dan mengabaikan rahmat-Nya.
Akhirnya Allah mengampuninya dan
sekali lagi menanyakan kepada si ‘abid “apakah engkau masuk surga ini karena
amalmu?’ si ‘abid menjawab “tidak ya Allah Tuhanku, sungguh ini semua karena
rahmat-Mu”.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Cerita di atas membuktikan betapa
hidup manusia ini sangat tergantung pada rahmat Allah swt sebagai pengatur alam
jagad raya. Ia-lah yang menentukan semuanya. Ia berhak melakukan apapun kepada
makhluk-Nya. Sebagai Sang Pencipta, sebagai Sang Maha Kuasa, Dia bebas menyiksa
dan mengganjar siapa saja yang Ia mau. Tidak ada yang dapat membatasi gerak-Nya.
Ketundukan atau kedurhakaan kita kepada-Nya tidaklah mampu menggeser
kekuasaannya walau sedikitpun. Oleh karena itulah hidup semua makhluk ini
sungguh-sungguh tergantung paa rahmatnya, bukan pada kesalehan amal ibadah
kita.
Oleh karena itulah kita diajari
sebuah do’a yang sangat masyhur:
ارحمنا ياالله لان رحمتك أرجى لنا من
جميع أعمالنا, واغفر لنا ياالله لان مغفرتك اوسع من ذنوبنا
Irhamna ya Allah, lianna rahmataka
arja lana min jami’i a’mlina. Waghfir lana ya Allah, lianna maghfiratakan
ausa’u lana min dzunubina.
Ya Allah kasihanilah kami, karena
rahmat-Mu lebih kami harapkan dari pada semua amal kami. Dan ampunilah kami,
karena pengampuanan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kami.
Begitulah hendaknya, manusia sebagai
hamba yang lemah tidak dibenarkan terlalu merasa aman dengan amal ibadah yang
telah kita kerjakan. Karena hal itu tidak serta merta mampu menyelamatkan diri
kita. Karena keselamatan dan pertolongan itu terkandung dalam rahmat-Nya.
Dengan kata lain, sungguh merugi
jika manusia merasa nyaman dengan tumpukan dan penjumlahan amal yang telah
dilakukannya, dengan harapan amal-ibadah itu akan menyelamatkannya dari api
neraka.
Oleh karena itulah tidak dibenarkan
bagi kita untuk menilai rendah sebuah amal ibadah. Walaupun itu sekedar
menghindarkan duri dari tengah jalan. Karena bisa saja amal itu yang dirahmati
Allah swt. Kita tidak boleh meremehkan amal walau sekecil apapun siapa tahu
itulah yang akan menyelamatkan kiat di akhirat nanti Bukankah Sayyidina Umar
masuk surga karena sekedar menyelamatkan burung emprit yang dibelinya dari
seorang anak kecil yang menyiksa burung itu? cerita ini kemudian diabadikan
dengan sebutan kitab úsfuriyah. Begitu sebaliknya. Kita tidak dibenarkan
pula menyombongkan amal ibadah walau sebesar apapun amal tersebut. Karena belum
tentu amal itu mengandung rahmat-Nya.
Dalam konteks kekinian rahmat Allah
dapat saja berada dalam amal yang sungguh sepele. Mungkin saja rahmat itu
terletak dalam diri anak-anak jalanan yang mengulurkan tangan ke hadapan kita,
atau di dalam diri pengamen yang menyanyikan lagu sumbang tak jelas suara dan
nadanya. Dan juga mungkin sekali rahmat itu terletak dalam amal kita dalam
memberi selembar kertas koran sebagai alas shalat jum’at. wal hasil sekecil
apapaun amal itu tidak boleh kita sepelekan.
Hal ini tentunya akan mengajak kita memandang
fenomena akan lebih hati-hati dan tidak mudah syu’ud dhann. Janganlah
kita mudah buruk sangka dan memandang remeh kepada pekerjaan orang lain. Tukang
sayur, tukang koran, tukang ojek dan tukang-tukang lain yang sering kita
nikmati jasanya tanpa kita kenal profilenya dengan dekat, bahkan seringkali
kita jadikan kambing hitam, bisa jadi pekerjaan merekalah yang mengandung
rahmat Allah swt dibandingkan pekerjaan kitaWaalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
0 komentar:
Posting Komentar